“Di semester 1 tahun 2023, PT Timah Tbk selaku pemilik konsesi terbesar di Indonesia mengekspor 8.307 MT timah, sedangkan smelter swasta mengekspor 23.570 MT. Berdasarkan riset dan observasi lapangan yang dilakukan oleh Brinst, RKAB yang dikeluarkan perlu dilakukan evaluasi,” katanya.
Teddy menuturkan, bahwa dalam penerbitan RKAB, tentunya harus berdasarkan pada tahapan eksplorasi yang benar, sehingga bisnis pertambangan yang adil dan bertanggung jawab dapat terwujud di Bangka Belitung.
Dari data yang dipublish oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, lanjut Teddy, ekspor timah mengalir deras dari perusahaan smelter timah yang hanya memiliki IUP di bawah 10 ribu hektar, bahkan ada yang di bawah seribu hektar.
Lebih lanjut Teddy mengatakan bahwa kuota ekspor yang diberikan, sangat erat kaitannya dengan persetujuan RKAB yang diberikan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral Batubara, Kementerian ESDM. Persetujuan yang semestinya harus ditinjau ulang, melihat indikasi korupsi yang terungkap akhir-akhir ini.
Menurut Teddy, kasus korupsi pertambangan yang terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Antam, Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), bisa saja terjadi di Bangka Belitung. Dalam kasus tersebut, lanjutnya, RKAB yang diberikan oleh Kementerian ESDM kepada perusahaan swasta ternyata tanpa evaluasi dan verifikasi sesuai ketentuan.
Padahal, kata Teddy, perusahaan tersebut tidak mempunyai deposit/cadangan nikel di Wilayah Izin Usaha Pertambangan tersebut. Dari kasus tersebut beberapa perusahaan lain turut mendapatkan kekayaan negara berupa bijih nikel milik negara (PT Antam).
“Penyederhanaan aspek penilaian RKAB perusahaan pertambangan, hal itu sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1806K/30/MEM/2018 tanggal 30 April 2018, rentan disalahgunakan. Belajar dari kasus tersebut, RKAB Bangka Belitung perlu dilakukan peninjauan ulang,” tutur Teddy.