JK.com, PANGKALPINANG – Babel resource Institute (Brinst) mengeluarkan hasil riset pertimahan Indonesia semester pertama tahun 2023. Berdasarkan hasil riset tersebut, Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB) perusahaan smelter timah di Indonesia.
“Eksploitasi yang tak bisa dikendalikan akan berdampak buruk pada bisnis pertimahan nasional,” kata Direktur Brinst, Teddy Marbinanda dalam pers rilisnya kepada media di Pangkalpinang, Kamis (07/09/23) sore.
Teddy mengungkapkan, ekspor timah Indonesia pada tahun 2022 lalu, mencapai 74.408 MT, dengan rincian 19.825 MT (PT Timah Tbk) dan 54.255 MT (private smelter).
Ekspor timah yang jor-joran, kata Teddy, menjadi sorotan apalagi saat praktik penambangan timah secara ilegal dan jual beli timah di kalangan kolektor atau pengepul timah ilegal masih terjadi di Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam catatan Brinst, lanjut Teddy, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 2022 lalu, menilai perlu adanya pembenahan tata kelola industri timah dalam negeri seiring adanya potensi kerugian negara Rp 2,5 Triliun dari pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah operasi PT Timah Tbk (TINS). Teddy menyebut, temuan yang didapati oleh BPKP itu seharusnya dicermati oleh pihak-pihak terkait termasuk Aparat Penegak Hukum (APH).
Lebih lanjut, Teddy mengatakan, bahwa pada Semester 1 tahun 2023, Brinst melihat kecenderungan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana jumlah ekspor tidak akan banyak berbeda.
Kemudian, lanjut Teddy, berdasarkan data hingga Juni 2023 yang diolah Brinst dari Kementerian Perdagangan, ekspor timah dari Indonesia mencapai 31.876,56 MT, sebagian besar ekspor tersebut berasal dari smelter swasta.