JK.COM, JAKARTA — Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir menyebut kerap terjadi permasalahan di dalam penegakkan hukum, jika seorang jaksa menjadi penyidik dalam sebuah perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Pertanyaan akademiknya adalah, mengapa jaksa serius mempertahankan wewenang menyidik dalam perkara Tipikor dan tidak tertarik dalam perkara lain, misalnya pembunuhan, perampokan atau pembegalan dan tidak tertarik menyidik perkara terorisme,” tutur Muzakir pada wartawan, Minggu (26/5/2024).
Mudzakir menilai, korupsi memang sebuah perkara pidana yang “seksi” dan menjadi rebutan para penegak hukum, terutama bagi Kejaksaan.
“Karena wewenang menyidik tunggal, yaitu Tipikor, maka setiap perkara yang dilaporkan kepada KPK dan jaksa konklusinya selalu Tipikor karena wewenangnya tunggal. Hanya Tipikor (Tipikorisasi),” paparnya.
Ia menambahkan, hingga saat ini KPK dan Kejaksaan sama-sama memiliki kewenangan untuk menangani perkara Tipikor. Meski begitu, seringkali ada kasus yang bukan tindak pidana korupsi malah dibuat menjadi urusan rasuah.
“Kredit macet (dibuat) Tipikor, padahal sudah ada jaminan harta benda di bank. Di mana letak kerugian keuangan negara dan tipikornya? Kan dasar pinjamannya perdata yaitu perjanjian kredit dengan jaminan,” terangnya.
Alhasil, saat sampai di tahap persidangan hakim lantas menolak dan membebaskan para terdakwa dikarenakan menilai perkara tersebut hanyalah sebatas kasus perdata.