JK.com, PANGKALPINANG – Sepekan ini sorotan berbagai media di Babel tertuju pada kisruh tak jelasnya penyaluran dana kompensasi dari perusahaan pengoperasi Kapal Isap Produksi (KIP). Akumulasi dana yang ditenggarai mencapai milyaran rupiah tersebut, informasinya dikelola oleh beberapa pihak yang menamakan dirinya “Panitia.” Dana yang seharusnya disalurkan dan dinikmati oleh masyarakat wilayah, nelayan dan pendanaan rumah ibadah tersebut, diduga tak tepat sasaran. Bahkan cenderung dinikmati segelintir orang dan kelompok dalam kemasan ormas, LSM hingga wartawan.
Awalnya redaksi tidak begitu peduli akan kisruh tersebut. Toh bukan uang milik negara atau kekayaan negara yang digerogoti. Namun jika kita bicara soal “dana umat” atau “dugaan penyimpangan dana umat,” mungkin cerita nya bisa berbeda. Karena jelas dana tersebut merupakan sumbangan yang ditujukan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Sementara ini kisruh meributkan soal pengelolaan nya yang diduga banyak bocor ke kantong pribadi.
Ini mengingatkan kita akan dana sumbangan yang dikelola lembaga filantropi bernama ACT. Saya sendiri sedikit kaget ketika tiba-tiba Bareskrim Mabes Polri. Karena ACT bukan lembaga yang mengelola dana pemerintah atau negara. Namun ACT selaku lembaga yang konsern dalam masalah kemanusiaan, menjadi kantong sekaligus pengelola dana sumbangan (dari umat). Logikanya mau diselewengkan pun, negara tidak menjadi dirugikan. Begitu kira-kira analognya. Tapi kok bisa diperiksa Aparat Penegak Hukum? Ternyata penyelewengan dana tersebut untuk keperluan pribadi bisa menciptakan potensi bagi penyidik masuk.
Nah kembali ke laptop, pekan media ramai beritakan bahwa dana kompensasi dari perusahaan pengoperasi KIP, ditenggarai tak jelas alirannya. Jika pun ada mungkin tidak optimal. Suara-suara sumbang yang membantah bahwa dana yang lancar dan rutin dikucurkan oleh pihak perusahaan KIP, diduga tidak berbanding lurus dengan penyalurannya.