Menguak Sejarah Panang Yang Terlupakan: Perjuangan Masyarakat Melawan Kehancuran Sejarah dan Eksploitasi Tanah

Img 20230604 003935

Oleh: [Bayu Damopolii]

JK.Com,Boltim – Wilayah Panang, dusun 5 Desa Kotabunan, Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Propinsi Sulawesi Utara (Sulut) adalah suatu prasasti bersejarah yang menjadi bukti peradaban bangsa Bolaang Mongondow (Bolmong) yang sudah jauh sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kecamatan Kotabunan, yang pada masa awalnya, meliputi sekitar 60% dari wilayah Boltim dan berkembang berkat kontribusi wilayah ini.

Bacaan Lainnya

kontrak Naamlooze Vennotschap Eksploratie en Eksplotatie Maatschappij

Namun pada masa lampau, sebelum Kerajaan Bolmong bergabung dengan NKRI, terjadi pengakuisisian sepihak oleh Kerajaan Belanda terhadap wilayah ini melalui kontrak Naamlooze Vennotschap Eksploratie en Eksplotatie Maatschappij “Bolaang Mongondou” pada tanggal 24 September 1908, yang dikeluarkan oleh Ratu Wilhelmina di Belanda. Kontrak ini mencakup tanah pertanian dan lahan pertambangan tradisional masyarakat.

Sistem pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow pada masa itu mirip dengan sistem sosialisme, di mana kepemilikan aset, benda, dan lainnya dapat dimiliki dan dikuasai oleh individu maupun kelompok masyarakat secara peribadi, sedangkan pihak kerajaan hanya berperan sebagai otoritas administratif. Hal ini berbeda dengan sistem komunisme di mana semua kepemilikan aset dikuasai oleh pihak kerajaan sebagai otoritas tertinggi.

Kerajaan Bolmong memiliki status Swapraja yang diakui secara teknis oleh pihak Belanda sebagai kerajaan atau negara yang bebas dan berdaulat secara hukum. Bahkan mekanisme Swapraja ini merupakan pengakuan internasional yang menempatkan pihak Belanda berada di posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan Kerajaan ‘Bolaang Mongondow’ berdasarkan kontrak kerjasama Tuan Tanah dan pengembang Wilayah.

Pengembalian seluruh aset yang dimiliki oleh pihak Belanda kepada Pemerintah Bolmong

Setelah Belanda meninggalkan wilayah ini pada tahun 1945, dan NKRI didirikan, pada tahun 1953 Kerajaan Bolmong menyatakan bergabung dengan negara baru tersebut, terutama karena adanya konflik Permesta di Sulawesi Utara. Namun, dalam perjalanan waktu, regulasi PP No. 23 tahun 1953 tentang pengembalian seluruh aset yang dimiliki oleh pihak Belanda kepada Pemerintah Bolmong justru menjadi bencana bagi masyarakat Panang (Kotabunan).
Berdasarkan sumber sejarah yang diperoleh dari;
1. Rumah Seni dan Budaya (Sanggar Seni Boltim) www.rumahsenidanbudaya.online
2. Universiteit Leiden universiteitleiden.nl
3. O’Uman (Cerita) Masyarakat Kotabunan.

IMG_20230529_023320

Kebun-kebun yang sebelumnya disewakan oleh pihak Belanda dan dieksploitasi sebagai aset oleh Pemda Bolmong sebagai tanah negara, kemudian setelah terjadinya konflik Permesta yang menghancurkan wilayah tersebut, aset itu diklaim dan kuat dugaan diperjualbelikan oknum tertentu tanpa adanya sanksi dari otoritas pemerintah.

PT.ASA Adukan Sejumlah Warga ke Polres Boltim

IMG-20230531-WA0005

Dramatis melihat kondisi yang ada, pasalnya hari ini sejarah itu terulang lagi, PT. JResources Asia Pasifik Tbk melalui anak perusahaannya, PT. Arafura Surya Alam (ASA), seolah tanah tersebut dibeli tanpa melakukan riset wilayah dan dengan angkuhnya coba menyeret sejumlah warga kerana hukum dengan mengadukan mereka yang tinggal di zona tersebut ke Polres Boltim. Keadaan inilah yang menggambarkan bahwa seolah-olah Belanda tidak pernah benar-benar pergi dari sana dan hanya berubah menjadi “Belanda kulit hitam”.

Panang ‘Dream’

Panang adalah “Kanaan”, tanah perjanjian Kerajaan Bolaang Mongondow di mana semua manusia bisa hidup dan terhidupi darinya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat bawah yang mengandalkan sisa-sisa hasil panang, seperti penambang lokal dan asing, tetapi juga bagi beberapa unsur pemerintahan yang bergantung padanya. Ada semboyan yang mengatakan “American Dream”, begitu juga ada “Panang Dream” yang mengartikan bahwa setiap manusia memiliki hak dan mimpi yang sama untuk meraih kesuksesan dari hasil panang.

Mimpi-mimpi tersebut tidak akan pernah tercapai jika pemerintah mau mengorbankan tanah tersebut demi perusahaan tambang dan memindahkan masyarakat dari wilayah itu. Pun jika itu terjadi, yang akan dipindahkan hanyalah tempat tidur mereka, bukan impian-impian mereka.

Namun begitu, tidak perlu ada kekerasan untuk menyampaikan sikap ini, tidak perlu juga kami berlebihan dalam mengklaim nilai perjuangan atas wilayah ini. Kebiasaan hidup di Panang telah mengajarkan kami untuk terus berjuang, dan sejarah selalu membuktikan bahwa perjuangan yang dilakukan selalu berbuah hasil yang baik. Oleh karena itu, kami setuju dengan ungkapan “Panang mati kalau mati”.Tegas Bayu, Aktivis dan Penggiat Budaya Bolmong.

Kesepakatan di DPRD Boltim dalam RDP Tanah Eks HGU Tidak Bisa Diperjual Belikan

Pos terkait

banner 300x250