JK.Com,Kotamobagu – Ketua Umum Harian Aliansi Masyarakat Bolaang Mongondow (AMABOM) Raya periode 2023-2028, Jemmy A Lantong, mengingatkan pentingnya menjaga adat dan budaya sebagai jati diri dan peradaban wilayah.
Dalam sambutannya pada acara Bakid Moloben ke-II Dewan Adat se-Bolaang Mongondow Raya, Jemmy menekankan bahwa bahasa adalah salah satu unsur pokok dalam adat.
Jemmy menyatakan, “Adat Ada Karena Bahasa.” Hal ini menunjukkan betapa pentingnya bahasa daerah dalam mempertahankan keberadaan adat, karena bahasa merupakan pondasi dari adat itu sendiri. Ia mengajak masyarakat untuk menjadikan bahasa daerah sebagai garda terdepan dalam menjaga eksistensi adat.
Dalam periode kepengurusan AMABOM 2023-2028, Jemmy merasa terhormat dan berharap mendapatkan dukungan penuh dari pengurus dan masyarakat adat di Bolaang Mongondow Raya. Ia juga berharap Dewan Adat AMABOM Raya, yang merupakan tokoh-tokoh teladan yang terpilih mewakili empat Eks Swapraja, dapat memberikan usulan personil terbaik untuk memperkuat kepengurusan di masa mendatang.
Bakid Moloben merupakan kegiatan rutin yang diadakan setiap lima tahun sekali untuk membahas keberlanjutan AMABOM. Acara ini melibatkan penetapan Dewan Adat AMABOM Raya, pembentukan pengurus harian, penetapan AD-ART program kerja, serta merumuskan peraturan adat sebagai acuan utama pelaksanaan adat di wilayah Bolaang Mongondow Raya.
AMABOM sendiri adalah organisasi masyarakat adat yang mencakup empat eks Swapraja, yaitu Kaidipang Besar, Bintauna, Bolaang Uki, dan Mongondow. Organisasi ini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1948, ketika mereka bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan terbentuklah Kabupaten Bolaang Mongondow.
Jemmy menegaskan bahwa warisan leluhur dan pendahulu yang menjadikan Bolaang Mongondow sebagai satu kesatuan tatanan adat harus terus dibina dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun atau lembaga manapun. Adat bukanlah subordinat dari institusi manapun dan tidak boleh diatur atau dikendalikan sembarangan.
Terdapat harapan bahwa posisi adat dalam masyarakat harus dipegang teguh secara sadar dan penuh tanggung jawab, terutama dalam menjaga agar tidak ada upaya kelompok atau individu yang tidak bertanggung jawab yang mencoba memisahkan adat dan masyarakatnya.
Dalam akhir sambutannya, Jemmy mengucapkan terima kasih kepada pemerintah di lima Kabupaten/Kota se-Bolaang Mongondow Raya yang telah turut serta dalam mensukseskan kegiatan Bakid Moloben ke-II. Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh dan pemangku kepentingan, termasuk perwakilan dari Gubernur Sulawesi Utara, Kapolda Sulut, Ketua Dewan Adat Bolmong Raya, serta kepala daerah dan unsur pimpinan DPRD dari lima kabupaten/kota di Bolaang Mongondow Raya. Hadir pula akademisi, tokoh adat, para camat, lurah/sangadi, dan lembaga adat se-Bolaang Mongondow Raya.
Selama acara Bakid Moloben ke-II, beberapa rekomendasi penting dihasilkan.
Pertama, disarankan agar Pemerintah dan DPR RI segera mengesahkan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (UUMA). Hal ini bertujuan untuk memberikan pengakuan yang lebih kuat terhadap hak-hak dan keberadaan masyarakat adat di Indonesia.
Kedua, Pemerintah Kabupaten dan DPRD se-Bolaang Mongondow Raya didesak untuk membuat Peraturan Daerah (PERDA) tentang Lembaga dan Masyarakat Adat. Langkah ini akan memperkuat perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan mengakui peran mereka dalam pembangunan daerah.
Ketiga, seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bolaang Mongondow Raya diminta untuk segera melaksanakan Permendagri No. 52/2014 tentang Tata Cara Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini akan memberikan landasan dan prosedur yang jelas dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat.
Keempat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bolaang Mongondow Raya diharapkan menyediakan prosedur dan mekanisme bagi masyarakat adat untuk mendaftarkan wilayah adat mereka. Hal ini akan membantu penyelesaian tumpang tindih hak dan konflik kepemilikan yang sering terjadi.
Kelima, Pemerintah dan Pemerintah Daerah diminta untuk melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA), seperti pertambangan, kehutanan, dan kelautan di wilayah adat se-Bolaang Mongondow Raya. Ini akan memastikan bahwa masyarakat adat memiliki akses dan peran yang adil dalam pengelolaan SDA di wilayah mereka.
Keenam, perlu ada mekanisme resolusi konflik yang efektif, terutama dalam menghentikan upaya pemindahan hak atas wilayah adat melalui jual beli tanah adat. Pemerintah diminta untuk meninjau ulang kebijakan tentang konservasi yang tumpang tindih dengan wilayah adat dan memastikan akses masyarakat adat terhadap wilayah adat mereka.
Ketujuh, Mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan tentang konservasi (Taman Nasional BNW) yang tumpang tindih dengan wilayah adat dan memastikan akses Masyarakat Adat atas wilayah adatnya;
Kedelapan, Mendesak Pemda se BMR untuk membangun kembali dan memelihara situs-situs dan artefak bersejarah di wilayah eks swapraja di BMR;
Kesembilan, Mendesak pemerintah daerah se BMR untuk menerapkan muatan lokal penggunaan bahasa daerah pada Sekolah Dasar & Sekolah Menengah sebagai jati diri bangsa;
Kesepuluh, Mendesak pemerintah untuk membangun kembali dan merehabilitasi rumah-rumah adat yang terbakar di seluruh wilayah adat se BMR (masa permesta);
Kesebelas, Mendesak pemerintah untuk memprioritaskan program pemberdayaan Masyarakat Adat di se BMR termasuk pelestarian budaya. (Bas)