“Pelaku tambang bekerja tidak di dalam kondisi tata niaga yang jelas, tapi carut marut,” tambahnya.
Elly juga mengatakan, kerja sama dengan PT Timah di akhir tahun 2018 sampai 2020 di mana hasil tambang rakyat dikumpulkan oleh PT Timah, diberi kompensasi dan dilebur ditempat smelter swasta lalu hasilnya logam dikirim ke PT Timah, menurutnya ini merupakan skema yang paling benar.
“Hasil carut marut kembali ke negara melalui PT Timah, penambang rakyat tetap bekerja dan perekonomian Babel tetap berjalan,” jelas Elly.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang dan Pengolahan Pasir Mineral Indonesia (Atomindo) Rudi Syahwani mengungkapkan, sebenarnya PT Timah dan smelter tidak bisa menerima hasil tambang timah dari masyarakat karena dianggap ilegal dan melanggar hukum.
Namun hal itu, kata dia, harus dilakukan karena banyak wilayah konsesi IUP PT Timah dan perusahaan swasta yang ternyata tidak memiliki kandungan timah. Sebaliknya, lahan masyarakat seperti perkebunan justru menghasilkan timah meski hanya di beberapa titik.
“Di sini akhirnya transaksi terjadi, namanya masyarakat kan pragmatis butuh uang, mereka menjual hasil tambang timahnya ke swasta karena dari sisi harga bisa dua kali lipat dibanding menjualnya ke PT Timah, untuk pencatatan laporan klaimnya dari IUP konsesi perusahaan swasta tadi. Nah ini masalahnya, perlu ada revisi regulasi yang memfasilitasi,” ungkap Rudi.
“Kalau masyarakat dilarang menambang toh itu di tanah mereka sendiri, dan aktivitas itu ada sebelum PT Timah dan swasta ada di tempat mereka. Aneh kalau masyarakat yang dikorbankan,” pungkasnya.
Cek berita update lainnya di Google News dan di WhatsApp Channels. Pastikan kamu sudah punya aplikasinya ya.