Kembali ke permasalahan klarifikasi Walikota Pangkalpinang kepada KPK, sesuatu yang bahkan belum masuk dalam proses hukum tak selayaknya kemudian opini kita memvonis seolah yang dilakukan Walikota tersebut bersalah.
Absurd nya lagi, bahkan ada sebuah lembaga pers yang membuat judul dengan nada memvonis. Dengan menyebut Walikota Cak-cak tuli atau pura-pura tuli. Padahal lembaga pers jelas memiliki koridor etika, yang salah satunya tidak mencampurkan opini dengan fakta serta tidak beritikad buruk.
Kalimat pura-pura tuli tersebut hanya Walikota yang bersangkutan yang bisa tau. Butuh pembuktian untuk memastikan bahwa seseorang pura-pura tuli. Jangan sampai orang yang ketiduran nanti divonis pura-pura pingsan.
Urusan Walikota enggan memberi komentar, memilih diam atau bungkam, itu menjadi hak Walikota sebagai narasumber. Dan Pers selayaknya menghargai hal ini, jika oknum Pers tersebut paham akan kode etiknya. Padahal jelas, Pers sebagai lembaga informasi yang juga fungsi mengedukasi publik. Salah satunya dengan tidak mengajarkan ujaran-ujaran yang memvonis atau menjustifikasi.
Ingat, bahwa ada pengadilan dan di dalamnya ada hakim yang bertugas mengadili seseorang dinyatakan benar atau salah. Jangan kita semua menjadi hakim. Abstraksi “jangan main hakim sendiri,” itu tidak sebatas suasana seorang maling tertangkap warga yang digebuk massa. Akan tetapi bahwa ucapan kita yang bernada memvonis juga merupakan bentuk “main hakim sendiri.”
Mari kita tetap berbaik sangka, jangan mengambil alih tugas Hakim untuk menjustifikasi. Bukan kah kita masih sepakat bahwa hukum adalah Panglima di negara ini. Semoga itu tetap menjadi pandangan hukum kita dalam bernegara. Bahwa semua orang bisa saja tersangkut masalah hukum. Akan tetapi, tetapkan mengedepankan azas praduga tidak bersalah. Wallahu alam bisawab…
Penulis : Choiri Arba’a (Mantan Aktivis Aliansi BEM Kepulauan Babel)