“Kami sudah menyurati Kejagung agar permasalah klien bisa mendapatkan keadilan sesuai Perja 2020 perihal perkara apa saja yang bisa dihentikan penuntutan, kecuali kasus pembunuhan dan terorisme,” tambah Bery.
Bery menilai kedua kliennya pantas mendapatkan Restorative Justice mengingat perbuatan pidana baru pertama dilakukan dan ancaman hukuman tidak lebih dari 5 tahun. Lagipula di Bangka Belitung masih banyak penambang ilegal skala besar yang beraktivitas.
“Klien kami adalah penambang kecil, hanya untuk mencari penghidupan. Apalagi lokasi tambang hanya bekas kolong bukan merusak aliran sungai. Saya nilai mungkin lebih besar biaya penyidikan polisi ketimbang kerugian yang diakibatkan. Bukan rahasia umum lagi, di Bangka Belitung banyak penambang skala kecil seperti TI Sebu-Sebu tidak pantas diberi hukuman penjara, sedangkan penambang illegal skala besar diluar sana masih banyak yang beraktivitas,” pungkas Bery.
Diketahui, PP (22) warga Tanjung Gunung, Kecamatan Pangkalan Baru dan HS (23), warga Mesu Timur berikut bos tambang berinisial AB, warga Padang Baru dijadikan tersangka setelah ditangkap Tipidter Polresta Pangkalpinang sekira 21 Maret 2022, namun di BAP polisi tertulis ketiga tersangka ditangkap pada 11 Mei 2022.
Ketiganya ditangkap dan disangka melakukan penambangan ilegal di kawasan aliran sungai tanah kosong belakang Giant dengan barang bukti 11 kilogram pasir timah beserta peralatan tambang dan disangka melanggar Pasal 158 Jo 35 UU Nomor 3 Tahun 2020 dengan ancaman 5 tahun penjara.
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif menjadi angin segar bagi pencari keadilan dalam kasus tindak pidana di Indonesia. Melalui langkah ini, penanganan kasus tidak perlu lagi masuk ke pengadilan. Namun cukup melalui mekanisme kekeluargaan. (Don/Bor)