Cukup logis langkah ini, karena setidaknya para penambang yang biasanya khawatir akan terkena operasi penertiban, bisa merasa lebih aman dalam beraktivitas. Konsekuensinya, bijih Timah yang dihasilkan wajib diserahkan kepada pemilik IUP, melalui pos penimbangan. Selebihnya itu teknis pihak perusahaan mitra pemegang SPK Jasa Borongan dan Pengangkutan yang atur.
Artinya praktek di lapangan bisa disesuaikan, karena substansinya adalah bagaimana bijih Timah yang merupakan aset wajib diamankan. Yang terpenting dan perlu digaris bawahi adalah, bijih Timah yang dimaksud berasal dari IUP PT Timah. Jika di luar IUP, wajib ditolak, karena itu bukan hak PT Timah.
Dari perbincangan dengan bapak Wing Handoko saya juga baru tau, bahwa dalam pelaksanaan SPK Jasa Borongan dan Pengangkutan ini, sejatinya PT Timah tidak bertanggung jawab secara lansung atas resiko bagi siapa pun yang melakukan penambangan di IUP nya.
Bahkan perusahaan mitra pemegan SPK Jasa Borongan dan Pengangkutan pun tidak punya kewajiban bertanggung jawab. Lha kok bisa? Ternyata alasannya karena aktivitas penambangan tersebut bisa dibilang sporadis, artinya tanpa koordinir.
Penambang paham bahwa resiko mereka yang pertama adalah penertiban. Namun atas kesepakatan memulangkan hasil yang diperoleh dari aktivitas penambangan ke pihak pemilik IUP, akhirnya gugurlah resiko yang tadi. Tapi itu tidak serta merta. Jika ada upaya menggelapkan hasil produksi tambangnya, opsinya ditertibkan atau ditindak.
Kemudian resiko kecelakaan kerja, itu sangat mungkin terjadi. Namun jika kita kembalikan lagi ke dasar permasalahan, bahwa PT Timah sejatinya tidak pernah mengijinkan aktivitas penambangan, karena kewajiban untuk mengamankan aset cadangan bijih Timahnya.