Dalam SP yang pertama, sampai yang terakhir tanggal 17 Oktober 2022 yang diperlihatkan Wawan kepada wartawan, mencantumkan Perda nomor 7 tahun 2019 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, pada Pasal 6 (1) huruf a, berbunyi “Setiap orang dilarang menggunakan jalan dan trotoar yang tidak sesuai dengan fungsinya.”
Kemudian pada Pasal 6 (1) huruf c berbunyi “Mendirikan kios, tenda atau bangunan lainnya yang dapat mengakbatkan berubahnya fungsi jalan dan trotoar.” Mengacu dari petikan Perda nomor 7 tahun 2019 ini lah, yang kemudian memicu kebingungan Wawan, lantaran terkesan diskriminatif.
“Pertama kali pak Taufik (pedagang buah) memfoto lapak kita, katanya disuruh pak Kasat Pol PP. Taufik menyampaikan alasan Kasat Pol PP, bahwa lokasi ini berantakan dan ada laporan dari bapak belakang itu (Jaksa). Yang mana, kemudian sampai lah laporan tersebut ke Kasat Pol PP, supaya membongkar lapak saya,” kenang Wawan saat curhat kepada Wartawan, Kamis (27/10/22) kemarin.
Wawan mengatakan, bahwa sebelum dieksekusi, pihak Pol PP memberi waktu 1 minggu untuknya agar membongkar lapak itu sendiri. Yang disesalkan Wawan, dirinya merasa telah memberikan uang untuk ‘sewa’ tempat mendirikan lapak di tempat tersebut, sebesar Rp 300 ribu per bulan. Tak hanya itu, menurut pengakuan Wawan, dirinya juga membayar pungutan harian sebesar Rp 2000.
“Saya cuma heran, dan merasa diperlakukan tidak adil pak, kenapa yang dibongkar kok hanya punya saya pak, yang lainnya tidak. Saya hanya ingin keadilan pak. Apalagi saya juga tertib menyetor rutin tiap hari sebesar Rp 2000 dan uang kebersihan. Memang dulu ada setoran pak perbulannya, saya diminta Rp 300 Ribu perbulan. Sama dengan lapak jualan telor, Rp 300 ribu. Kalau punya pak Hen kalau tidak salah Rp 900 ribu. Termasuk punya pak Taufik kalau tidak salah sekitar Rp 800 ribu. Nah, uang bulanan itu kita kumpulkan lewat pak Taufik setiap bulan nya. Kok tiba-tiba lapak saya dibongkar, sementara yang lain tidak. Ini kan tidak adil namanya pak,” ungkap Wawan.