Dampak Tindak Pidana Korupsi Terhadap Kerugian Negara Secara Materil dan Imateril

Watermark Jk 20240512 161835 0000

a). Memudahkan hakim dalam mengadili perkara tindak pidana pasal 2 dan pasal 3 undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

b). Mencegah perbedaan rentang penjatuhan pidana terhadap perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memiliki karakteristik yang serupa tanpa disertai pertimbangan yang cukup dengan tidak mengurangi kewenangan dan kemandirian hakim;

Bacaan Lainnya

c). Mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan alasan dalam menentukan berat ringannya pidana terhadap perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

d). Mewujudkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan yang proporsional dalam menjatuhkan pidana terhadap perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Adapun kategori kerugian negara atau perekonomian negara dalam mengadili tindak pidana pasal 2 dan 3 UU pemberantasan tindak pidana korupsi yang dibagi dalam beberapa kategori sebagaimana pasal 6 PERMA No. 1 tahun 2020 yang berbunyi :

(1) Dalam hal mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terbagi ke dalam 4 (empat) kategori sebagai berikut :

a. Kategori paling berat, lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);

b. Kategori berat, lebih dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);

c. Kategori sedang, lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp25.000.000.000.00 (dua puluh miliar rupiah);

d. Kategori ringan, lebih dari 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah);

(2) Dalam hal mengadili perkara tindak pidana pasal 3 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terbagi ke dalam 5 (lima) kategori sebagai berikut :

a. Kategori paling berat, lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);

b. Kategori berat, lebih dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);

c. Kategori sedang, lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)

d. Kategori ringan, lebih dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

e. Kategori paling ringan, sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Lebih lanjut, kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : (i) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; dan (ii) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahan yang menyertakan modal negara atau perusahan yang menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Selain itu, pengertian keuangan negara berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selain kerugian dalam bidang keuangan negara, adanya kerugian dalam bidang ekonomi yang dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan maupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasari pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Maka, klasifikasi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sudah cukup sebagai landasan penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dalam kategori berat atau dengan kata lain memperkuat argumen hukum yang terdapat dalam UU tindak pidana korupsi mengenai “keadaan tertentu” sebagai landasan penerapan hukuman mati.

Berdasarkan Pasal 12 ayat 2 UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP menyatakan bahwa ”Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, korupsi dapat dikategorikan sebagai pemufakatan jahat karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Mengenai pemufakatan jahat, sanksi terhadap pemufakatan jahat berdasarkan pasal 13 ayat 4 UU No. 1 tahun 2023 menyatakan bahwa ”Permufakatan jahat melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.” dan tentunya, sanksi tersebut disesuaikan berdasarkan kategori yang terdapat dalam PERMA No. 1 tahun 2020.

Dikutip dari kompas.com, kerugian akibat kerusakan hutan terkait dugaan korupsi izin usaha pertambangan (IUP) Timah di Bangka Belitung mencapai Rp. 271 Triliun. Kejaksaan Agung menelaah kasus dugaan korupsi tata niaga timah WIUP PT. Timah Tbk 2015-2022. Selain itu, adapun rincian kerugian akibat kerusakan hutan di bangka Belitung yang dihitung berdasarkan peraturan Menteri lingkungan hidup No. 7 Tahun 2014 tentang kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Adapun paparan tersebut disampaikan guru besar Institut Pertanian Bogor Prof. Bambang Hero Saharjo menjelaskan bahwa perhitungan tersebut dianalisis berdasarkan kerusakan lingkungan dalam Kawasan hutan dan non Kawasan hutan dengan perinciannya kerugian lingkungan hidup Rp. 157.83 T, Ekonomi Lingkungan Rp. 60.2 M, Biaya pemulihan lingkungan Hidup Rp. 5.26M. Sedangkan dalam areal penggunaan lain kerugian lingkungan hidup mencapai Rp. 25.87 triliun, ekonomi lingkungan hidup 15.2 triliun, dan pemulihan lingkungan hidup Rp. 6.62 miliar. Perhitungan tersebut diukur berdasarkan total IUP yang terdapat di darat yang meliputi hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, hutan taman raya serta areal penggunaan lain. Selain itu, kerugian dihasilkan oleh program pasca tambang yang tidak dilaksanakan. Selain itu, terdapat ketimpangan data antara luas galian yang 170.363.064 hektar, dengan kepemilikan IUP produksi yang hanya 88.900.462 hektar. Walaupun demikian, kerugian lingkungan tersebut bukan merupakan satu-satunya kerugian yang mesti ditanggung oleh negara seperti yang dipaparkan (Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik JAM Pidsus).

Berkaca pada kasus dugaan korupsi tersebut, apabila hal itu terbukti secara hukum telah melakukan tindak pidana korupsi dengan kategori berat sesuai dengan PERMA No. 1 tahun 2020 serta peraturan perundang-undangan lainnya, maka pelaksanaan pidana hukuman mati terhadap para pelaku sah secara hukum dapat dilakukan.

D. Penutup

Berdasarkan uraian tadi, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dapat diterapkan bila mengacu pada peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Selain itu, Indikator pelaksanaan hukuman mati dalam perkembangan atau pembaharuan UU pemberantasan korupsi juga telah dijelaskan beberapa kategori yang secara sah dimata hukum dalam pelaksanaan pidana mati. Selain itu, bila mengacu pada asas lex specialis derogate legi generalis, pandangan tentang pidana mati yang selalu diklasifikasikan ke dalam kejahatan hak asasi manusia juga dapat dibatalkan demi hukum oleh karena korupsi justru merupakan tindakan perampasan hak dan martabat manusia serta memiliki dampak yang luas bagi negara.

Pos terkait

banner 300x250