Dampak Tindak Pidana Korupsi Terhadap Kerugian Negara Secara Materil dan Imateril

Watermark Jk 20240512 161835 0000

Teori ini menitikberatkan pembalasan, tetapi dengan maksud sifat pidana pembalasan tersebut untuk melindungi tertib hukum yang hakikatnya pidana merupakan suatu ultimum remedium (jalan terakhir yang digunakan apabila tidak ada jalan lain/sanksi pidana merupakan jalan terakhir). Titik fokus teori ini terletak pada ancaman pidana yang menakutkan, memperbaiki serta membinasakan. Selain itu, perlindungan terhadap kepentingan Masyarakat merupakan tujuan dari teori gabungan.

Covenant on Civil and Political Right (CCPR) tentang hak-hak sipil dan politik dalam hukum internasional, ketentuan hukuman mati terdapat pada pasal 6 ayat 2 yang berbunyi dalam kaitannya dengan pembatasan hukuman mati yang hanya boleh diberlakukan pada kejahatan yang paling berat (the most serious crime). Istilah ‘kejahatan yang paling serius/the most serious crime” dalam pasal 6 ayat (2) dibatasi hanya pada pembunuhan terencana dan tindakan terencana yang menyebabkan penderitaan jasmaniah yang memilukan’. Bagi negara yang masih menerapkan hukuman mati, putusan hukuman mati dapat diterapkan terhadap tindak pidana berat berdasarkan aturan yang berlaku serta tida bertentangan dengan ketentuan konvensi-konvensi tentang pencegahan hukum dan kejahatan genosida. Hal ini diperkuat dengan adanya resolusi PBB 1984 yang berbunyi “Bagi negara yang belum menghapus hukuman mati, hanya akan dijatuhkan bagi kejahatan yang sangat serius, dengan satu pengertian bahwa batasannya tidak lewat dari kejahatan terencana, dengan konsekuensi mematikan atau konsekuensi luar biasa lainnya’’.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan teori kontrak sosial, negara terbentuk atas dasar perjanjian yang lahir dari individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok dan seterusnya sehingga terbentuk suatu negara yang bertujuan untuk menjamin legitimasi otoritas negara, melaksanakan perlindungan, serta merealisasikan cita-cita Masyarakat. Adapun korelasi pelaksanaan hukum pidana mati dengan pasal 28a dan pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 serta pasal 28j yang berbunyi “Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Kemudian, PMK No. 23/UU-V/2007 menyatakan bahwa dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional serta harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait, dalam pelaksanaan, perumusan maupun penerapan pidana mati dalam sistem peradilan Indonesia hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :

  1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
  2. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun, yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dan diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;
  3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
  4. Eksekusi pidana terhadap perempuan hamil dan seorang sakit jiwa ditanggungkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Konsep hukum pidana mati yang dilaksanakan merupakan upaya negara dalam mewujudkan keadilan sosial serta melindungi aset negara dari penyalahgunaan hak atau wewenang. Baik konvensi hukum internasional maupun Konstitusi Indonesia, keduanya sama-sama menyatakan bahwa penerapan pidana mati merupakan satu aturan hukum yang mesti dilaksanakan terhadap extra ordinary crime ataupun kejahatan kemanusiaan lainnya terutama perampasan terhadap hak dan martabat serta kesejahteraan manusia lainnya secara luas seperti misalnya tindak pidana korupsi yang tidak hanya merugikan negara, juga menimbulkan ketimpangan yang terjadi dimana-mana. Pemberantasan korupsi memerlukan tata pelaksanaan yang lebih khusus daripada penindakan pidana umum lainnya oleh karena hal ini berkaitan dengan kepentingan negara, bangsa dan kesejahteraan sosial.

Adapun tujuan pemidanaan yang diusulkan dalam RKUHP pasal 51 yang menyatakan bahwa :

  1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat;
  2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;
  3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat;
  4. Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana

Ketentuan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 sebagai berikut :

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Adapun unsur-unsur pidana sebagai berikut :

1) Setiap orang yang dimaksud dalam pasal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka (3), yakni setiap orang atau korporasi.

2) Secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana dengan adanya kata maupun dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang korupsi mengikuti 2 ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu : ajaran sifat melawan hukum formil dan ajaran sifat melawan hukum materil

3). Perbuatan memperkaya diri sendiri, memperkaya diri orang lain atau korporasi. Memperkaya adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya dan perbuatan ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara.

Memperkaya sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum dari Putusan Pengadilan Tangerang tanggal 31 Mei 1992 Nomor :18/Pid/B/1992/PN/TNG yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan memperkaya adalah menjadi kaya yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya.

2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Sementara penjelasan keadaan tertentu ditegaskan pada Pasal 2, ayat (2); Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberantasan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu:

(I) Dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya;

(II) dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana nasional;

(III) dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas;

(IV) dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan krisis ekonomi dan moneter; dan

(V)Pengulangan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan penjelasan mengenai keadaan tertentu, tindak pidana korupsi sukar dibuktikan karena :

Penanggulangan keadaan bahaya, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946 tentang keadaan bahaya dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960 tentang perubahan pasal 43 ayat (5) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Pada pasal 1 angka (2) menegaskan bahwa keadaan bahaya dinyatakan, jika terjadi serangan, bahaya serangan, pemberontakan atau perusuhan, hingga dikhawatirkan pemerintah sipil tidak sanggup menjalankan pekerjaannya dan bencana alam. Dari penjelasan tersebut, tidak menjelaskan secara spesifik pengertian keadaan berbahaya, apa saja yang menjadi bentuk-bentuk dari keadaan berbahaya maupun apa yang menjadi unsur-unsur dari pemerintah tidak sanggup menjalankan pekerjaan serta indikator dari bencana alam, sehingga dalam menentukan unsur keadaan bahaya hanya bersifat subyektif dari Presiden sehingga sulit dalam menerapkan hukuman mati.

Bencana alam nasional, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Pada Pasal 7 ayat (2) menegaskan bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator yang meliputi: a. jumlah korban; b. kerugian harta benda; c. kerusakan prasarana dan sarana; d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Kemudian ayat (3) menegaskan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana diatur dengan peraturan presiden. Dari uraian tersebut diatas, tidak secara spesifik dan baku menjelaskan pengertian bencana alam nasional, berapa jumlah korban jiwa, berapa jumlah kerugian harta benda, berapa jumlah kerusakan prasarana dan sarana serta luas wilayah dan dampak sosial ekonomi sehingga dalam menentukan bencana alam nasional bersifat subyektif dari presiden sehingga sulit dalam menerapkan hukuman mati.

Penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas. Belum adanya peraturan perundang-undangan secara spesifik yang menjelaskan pengertian kerusuhan sosial yang meluas, bentuk-bentuk maupun jenis kerusuhan sosial yang meluas sehingga dalam menerapkan hukuman mati.

Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter. Belum adanya peraturan perundang-undangan secara spesifik yang menjelaskan pengertian krisis ekonomi dan moneter, bentuk-bentuk maupun jenis serta dampaknya sehingga sulit dalam menerapkan hukuman mati.

Pengulangan tindak pidana korupsi. Recidive adalah kelakuan seseorang yang mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukanya lebih dahulu. Seseorang yang sering melakukan perbuatan pidana, dan karena dengan perbuatan-perbuatannya itu telah dijatuhi pidana bahkan lebih sering dijatuhi pidana,disebut residivis. Kalau residive menunjukkan pada kelakuan mengulangi perbuatan pidana, maka residivis menunjuk kepada orang yang melakukan pengulangan perbuatan pidana. Dari penjelasan tersebut, bilamana dihubungkan dengan penanggulangan tindak pidana korupsi menimbulkan suatu penafsiran bahwa yang menjadi indikator pengulangan tindak pidana korupsi, apakah korupsi terhadap kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atau tindak pidana korupsi pada umumnya sehingga sulit menerapkan hukuman mati bagi pelaku pengulangan tindak pidana korupsi.

Formulasi aturan yang terdapat dalam pasal tersebut mengenai penetapan pidana mati “dalam keadaan tertentu” justru kontradiktif dengan tujuan UU Tindak pidana korupsi karena memiliki parameter yang jelas dalam menentukan ancaman pidana mati. Kendati demikian, hal ini sebenarnya bergantung pada Keputusan hakim. Dalam hal ini terdapat asas yang menjadi landasan hakim dalam mengambil Keputusan yaitu asas hakim aktif dan pasif. Hal ini diperkuat dengan pasal 4 ayat 2 UU NO. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

Senada dengan Prof. Mahfud MD yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kemungkinan putusan hukum mati terletak pada keberanian hakim untuk memutus sebuah perkara. Selain menjadikan aturan perundang-undangan sebagai landasan pengambilan Keputusan, jika hal tersebut menyangkut kejahatan terhadap kemanusiaan yang dalam hal ini korupsi, tentunya hakim mesti menjadikan pertimbangan Nurani guna memperkuat argumen-argumen hukum dalam putusan pidana mati. Dengan pelaksanaan konsep yang disertai praktik hukuman mati terhadap terpidana korupsi tentunya hal ini menjadi jaminan bagi hak asasi manusia serta dalam hal ini negara dapat mendistribusikan keadilan.

2. Bagaimana menentukan jumlah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara guna melaksanakan hukuman mati pada terpidana korupsi 

Ketentuan pelaksanaan hukum pidana berdasarkan PERMA No. 1 tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan pasal 2 dan 3 UU pemberantasan tindak pidana korupsi yang secara umum meliputi pertimbangan penjatuhan pidana dalam pelaksanaannya setidaknya memenuhi unsur kepastian hukum, proporsionalitas pemidanaan dalam menjamin keadilan sosial berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 serta menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Selain itu, dalam pasal 3 Perma No. 1 Tahun 2020 bertujuan untuk:

Pos terkait

banner 300x250