Oleh : Risma Sabel (Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung).
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. Di mulai dari kekayaan aneka ragam lautnya, sumber daya yang tersebar di daratan, maupun yang terkandung di dalamnya. Hal ini tentunya menjadi anugerah bagi bangsa Indonesia dalam membangun serta mensejahterakan rakyatnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dengan Kekayaan sumber daya alam tersebut tentunya mesti diimbangi dengan kapasitas moral, mental dan intelektual sumber daya manusia Indonesia. Seperti halnya teori kutukan sumber daya alam, terdapat korelasi negatif antara ketersediaan SDA yang melimpah dengan kesejahteraan sosial. Hal ini membuktikan bahwa betapa pentingnya kualitas SDM dalam mengelola SDA dengan orientasi yang sama untuk menciptakan kesejahteraan sosial.
Dikutip dari Transparency International /the global coalition against corruption tentang indeks persepsi korupsi Indonesia 2022, Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara yang cenderung lamban dalam merespon dan menangani praktik korupsi. Jika dianalogikan, korupsi di Indonesia seperti penyakit yang dapat diobati, akan tetapi tak ada dokter yang bisa menangani. Hal ini disebabkan oleh adanya paradigma yang hidup dalam sistem sosial yang menganggap bahwa korupsi telah menjadi bagian historis yang mesti dirawat bangsa Indonesia. Kendati demikian, wacana pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dicanangkan sejak masa Presiden BJ Habibie dengan diterbitkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN yang baru terbentuk saat Presiden Megawati Soekarnoputri memimpin Indonesia.
Hal ini membuktikan bahwa sejak era Reformasi, bangsa Indonesia kembali memiliki keyakinan penuh bahwasannya korupsi merupakan penyakit yang dapat di obati. Dan tentunya hal ini bergantung pada tata kelola negara serta SDM yang memiliki moral, mental dan intelektual serta orientasi yang sama terhadap pembangunan Indonesia.
Kendati demikian, dibentuknya KPK tidak serta-merta langsung dapat membongkar habis praktik korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya korupsi yang hidup secara kultural. Dari mulai yang paling sederhana seperti halnya gratifikasi atau lainnya, maupun penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara secara materil maupun imateril triliunan rupiah. Seperti misalnya dugaan korupsi tata niaga timah/Izin usaha pertambangan (IUP) PT. Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022 yang mencapai Rp. 271 triliun. Kerugian tersebut merupakan kerugian lingkungan Kawasan Hutan maupun Non Kawasan Hutan yang dihitung berdasarkan Permen LH No. 7 tahun 2014 tentang kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup diakibatkan oleh aktivitas pertambangan yang tidak melaksanakan Good Mining Practice sesuai dengan UU No. 3 tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Walaupun demikian, kerugian lingkungan tersebut bukan merupakan satu-satunya kerugian yang mesti ditanggung oleh negara seperti yang dipaparkan (Direktur Penyidik Kejaksaan Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik JAM Pidsus).
Ironisnya, praktik korupsi tersebut tidak hanya dilakukan oleh pihak swasta atau pengelola IUP saja, akan tetapi melibatkan Direktur PT. Timah Tbk beserta Direktur keuangannya yang tidak sepatutnya pengelola BUMN menyalahgunakan wewenang dan tidak ikut andil dalam melaksanakan praktik korupsi. Bila berkaca pada kasus tersebut, tentunya kita dapat mengetahui alasan mengapa praktik korupsi Indonesia sulit diatasi.
Adapun contoh kasus lainnya seperti kasus suap proyek pembangunan sistem penyedia air minum yang terjadi pada insiden tsunami dan gempa di Donggala, Palu Sulawesi Tengah mencapai Rp. 5,3 milyar, 5.000 Dolar US dan 22.000 Dolar Singapura. Korupsi dana abadi umat, proyek haji serta pengadaan Al-Qur’an yang merugikan negara ditaksir mencapai Rp. 27 milyar dan 17.967.405 riyal Arab Saudi. Jika kita uraikan lebih jauh, tentunya ada berbagai rentetan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Seperti dikutip dari laman mahkamahagung.go.id, direktori putusan MA di laman pencarian dengan keyword “korupsi”, terdapat 48.276 putusan mengenai kasus korupsi yang telah diajukan ke pengadilan. Dari data tersebut, tentunya kita memahami bagaimana daya rusak korupsi dapat menimbulkan degradasi moral serta kemiskinan yang semakin tumbuh di Indonesia. Lalu, bagaimana penyelesaian tindak pidana korupsi di Indonesia?
Indonesia merupakan negara yang memiliki sistem kedaulatan, pertama sebagai negara kedaulatan rakyat dan negara kedaulatan hukum. Dengan demikian, penyelesaian mengenai kasus korupsi yang menjamur diperlukan formulasi yang tepat hasil kombinasi antara pemulihan keadilan bagi Masyarakat dengan formulasi hukum yang tegas. UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang kemudian di revisi dengan UU No. 20 tahun 2001, serta pembentukan lembaga dan struktur seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 yang bertujuan untuk memperkuat Polri dan Kejaksaan dalam memberantas tindak pidana korupsi serta satgas anti korupsi seperti Ombudsman, PPATK, BPK dan lainnya.
Dengan instrumen yang ada, faktanya kasus korupsi masih terjadi di Indonesia. Revisi maupun usulan-usulan mengenai peraturan perundang-undangan membuktikan bahwa masih terdapat kekosongan ataupun celah dalam peraturan yang ada. Dengan kata lain, peraturan yang ada belum sepenuhnya dapat mengantisipasi substansi persoalan yang ada dan tentunya akan berdampak pada penegakkan dan tujuan dibentuknya hukum. Intelektual hukum Indonesia menggagas hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu seperti misalnya pada pasal 2 ayat 2 UU UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam penjelasannya menyatakan bahwa pemberlakuan hukuman mati bagi tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.
Pidana hukuman mati merupakan alternatif terakhir dalam menyelesaikan persoalan korupsi di Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi shock therapy bagi pelaku tindak pidana korupsi maupun masyarakat pada umumnya tentang risiko yang akan dihadapi bila melakukan pelanggaran pidana khusus, dalam hal ini korupsi. Pemberlakuan pidana mati telah diatur sejak UU mengenai pemberantasan korupsi disahkan pada tahun 1999, akan tetapi realitasnya dari berbagai kasus korupsi yang ada di Indonesia walaupun telah memenuhi syarat dan ketentuannya, pelaksanaan pidana mati tetap tidak dilaksanakan dengan dalih UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Padahal, bila kita mengacu pada asas lex specialist derogate legi generalis, UU Hak Asasi Manusia merupakan UU yang bersifat umum, sedangkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus. Terlebih lagi, praktik korupsi selain merugikan negara, juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara lainnya.
Adapun upaya warga negara dalam pelaksanaan pidana mati pelaku korupsi yang dikutip dari laman MKRI.ID dengan permohonan perkara Nomor 157/PUU-XXI/2023 tentang uji materiil pasal 2 ayat 1, pasal 2 ayat 2, dan pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi pada 18 Desember 2023, para pemohon menjelaskan bahwa pasal-pasal yang diajukan memiliki celah serta indikasi melindungi terpidana korupsi dalam pelaksanaan penerapan pidana mati. Bicara mengenai HAM, sanksi pidana bagi terpidana korupsi tidak termasuk ke dalam kategori pelanggaran HAM karena para pelaku korupsi telah merampas hak dan martabat warga negara Indonesia lainnya. Walaupun demikian, terdapat penjelasan-penjelasan Ketua Hakim MK dalam jenis-jenis perbuatan atau tindakan pidana dalam pasal-pasal yang diajukan.
Terhambatnya pelaksanaan pidana mati dapat diukur dari kualitas dan kuantitas yang dikorupsi. Indikator tersebut merupakan kelemahan yang terdapat dalam pasal 2 ayat 2 UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, uji materil terhadap pasal tersebut diperlukan, mengingat politik hukum serta kebijakan hukum pidana kita secara substantif selain sebagai instrumen negara dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi, juga sebagai instrumen untuk mengevaluasi atau memperbaharui hukum pidana agar dapat sesuai dengan fungsi hukum sebagaimana mestinya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah “bagaimana analisis hukum terhadap unsur keadaan tertentu dalam penerapan hukuman mati terpidana korupsi? dan bagaimana jumlah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam menentukan hukuman mati pada terpidana korupsi?”
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif yang dilakukan dengan meneliti bahan Pustaka serta data sekunder. Adapun penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan data empiris berupa fakta yang terjadi serta dilengkapi dengan data hukum primer. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelitian yang telah tersedia dalam bentuk buku atau dokumen yang tersedia di perpustakaan, ataupun kepemilikan pribadi seperti misalnya literatur, jurnal, putusan-putusan MA/MK, ataupun UU yang berlaku.
C. PEMBAHASAN
1. Analisis hukum terhadap unsur keadaan tertentu dalam penerapan hukuman mati terpidana korupsi
Penerapan pidana mati bagi terpidana korupsi keuangan negara datau perekonomian negara merupakan upaya terakhir apabila tidak lagi terdapat alternatif lain dalam mengatasi maupun memberantas korupsi. Hal tersebut mesti dilaksanakan dikarenakan :
- Hukuman mati merupakan balasan yang setimpal bagi pelaku kejahatan serta dapat menjadi contoh bagi masyarakat secara umum mengenai risiko yang dapat diterima apabila melakukan tindak pidana korupsi
- Hukuman mati bertujuan untuk melindungi masyarakat yang telah menjadi korban atau dirugikan
- Hukuman mati sebagai sikap tegas negara terhadap pelaku kejahatan atau tindakan melawan hukum yang telah ditetapkan
- Hukuman mati dilaksanakan sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga wajib dilaksanakan
- Hukuman mati merupakan masalah kedaulatan hukum dan politik hukum
Selain itu, hukuman mati mesti dilaksanakan dengan tepat atau sebagai alternatif terakhir dalam hukum pidana. Adapun teori pemidanaan dalam hukum pidana yang di antaranya :
a. Teori absolut
Pidana dijatuhkan semata-mata dikarenakan seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk memenuhi tuntutan keadilan (to satisfy the claim of justice). Maka pemidanaan merupakan suatu upaya untuk mewujudkan keadilan. Adapun syarat pelaksanaan teori pemidanaan absolut yang diantaranya meliputi perbuatan yang dilakukan harus bertentangan dengan etika, pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin terjadi, dan beratnya pidana mesti seimbang dengan tindak pidana yang dilakukan.
b. Teori relative
Penerapan hukum pidana bukanlah untuk untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan tersebut tidak memiliki nilai, akan tetapi hanya merupakan sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Lebih tepatnya, teori relative ini merupakan pencegahan agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib yang hidup di masyarakat.
c. Teori gabungan