JK.Com,Kotamobagu – Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow (AMABOM) telah sukses menggelar pelaksanaan Bakid Moloben (musyawarah besar) ke-II Dewan Adat se Bolaang Mongondow Raya.
Kegiatan ini berlangsung di Hotel Sutan Raja Kotamobagu dari tanggal 30 Juni hingga 2 Juli 2023 dengan tema “Peran Pemerintah Daerah dalam Melestarikan Adat dan Budaya Bolaang Mongondow.”
Ketua AMABOM, Jemmi A. Lantong, menyampaikan dalam sambutannya bahwa Bakid Moloben merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk membahas keberlanjutan AMABOM. Kegiatan ini melibatkan penetapan Dewan Adat AMABOM Raya, pengurus harian, penetapan AD-ART program kerja, dan juga rekomendasi serta resolusi yang bertujuan untuk merumuskan peraturan adat sebagai acuan utama pelaksanaan adat di wilayah Bolaang Mongondow Raya, seperti adat perkawinan, kelahiran, kematian, khitan, penobatan, pemberian gelar adat, penjemputan tamu, dan hukum adat.
AMABOM sebagai organisasi masyarakat adat yang mencakup 4 eks Swapraja, yaitu Kaidipang Besar, Bintauna, Bolaang Uki, dan Mongondow, merupakan organisasi adat yang sudah ada dan berkembang sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1948, mereka dengan sukarela bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan terbentuklah Kabupaten Bolaang Mongondow.
Jemmi menegaskan bahwa warisan leluhur dan pendahulu yang menjadikan Bolaang Mongondow sebagai satu kesatuan tatanan adat harus terus dibina dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun atau lembaga manapun. Adat bukanlah subordinat dari institusi manapun dan tidak boleh diatur atau dikendalikan sembarangan.
Ia juga mengungkapkan harapannya bahwa posisi adat dalam masyarakat harus dipegang teguh secara sadar dan penuh tanggung jawab, terutama di tengah upaya kelompok atau individu yang tidak bertanggung jawab yang mencoba memisahkan adat dan masyarakatnya. Ada pula upaya untuk menempatkan adat sebagai organisasi yang terbatas, seperti bunga bonsai yang dipangkas agar tidak tumbuh menjadi besar.
Jemmi menekankan bahwa adat dan budaya adalah jati diri sebuah peradaban di wilayah tersebut, dengan bahasa sebagai unsur pokok yang harus dijaga dan dilestarikan. Pertahanan terakhir sebuah budaya adalah bahasa, dan hilangnya bahasa berarti hilangnya eksistensi adat. Oleh karena itu, di wilayah adat Bolaang Mongondow Raya, penting untuk memperkaya dan menempatkan bahasa daerah sebagai garda terdepan dalam menjaga eksistensi adat ke depan.
Di akhir sambutannya, Jemmi juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pemerintah di 5 Kabupaten/Kota se-Bolaang Mongondow Raya yang telah turut serta mensukseskan kegiatan Bakid Moloben ke-II.
Kegiatan Bakid Moloben ke-II ini dihadiri oleh berbagai tokoh dan pemangku kepentingan, termasuk Gubernur Sulawesi Utara yang diwakili oleh Kepala Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Sulut, Abdullah Mokoginta, Kapolda Sulut yang diwakili oleh Dirintelkam, Kombes Pol Albert Sarita Marulam Sihombing, Ketua Dewan Adat Bolmong Raya, Dra Hj. Marlina Moha Siahaan, serta kepala daerah dan unsur pimpinan DPRD dari 5 kabupaten/kota di Bolaang Mongondow Raya. Hadir pula akademisi, tokoh adat, para camat, lurah/sangadi, dan lembaga adat se-Bolaang Mongondow Raya.
Berikut sejumlah poin rekomendasi hasil pelaksanaan Bakid Moloben Ke-II:
1. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk pengesahan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (UUMA);
2. Mendesak kepada Pemerintah Kabupaten dan DPRD se Bolaang Mongondow Raya (BMR) membuat PERDA tentang Lembaga dan Masyarakat Adat;
3. Mendesak kepada seluruh Pemerintah Kab/Kota se BMR segera melaksanakan Permendagri No. 52/2014 tentang Tata Cara Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat;
4. Mendesak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota se BMR untuk menyediakan prosedur serta mekanisme bagi Masyarakat Adat untuk mendaftarkan wilayah adatnya, sebagai dasar bagi penyelesaian tumpang-tindih hak dan konflik kepemilikan yang terjadi selama ini;
5. Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melibatkan masyarakat adat dim pengelolaan/pemanfaatan SDA (Pertambangan, Kehutanan & Kelautan) di wilayah adat se BMR;
6. Mendesak agar pemerintah segera membuat dan menyediakan mekanisme resolusi konflik terutama menghentikan upaya-upaya pemindahan hak atas wilayah adat melalui jual beli tanah adat;
7. Mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan tentang konservasi (Taman Nasional BNW) yang tumpang tindih dengan wilayah adat dan memastikan akses Masyarakat Adat atas wilayah adatnya;
8. Mendesak Pemda se BMR untuk membangun kembali dan memelihara situs-situs dan artefak bersejarah di wilayah eks swapraja di BMR;
9. Mendesak pemerintah daerah se BMR untuk menerapkan muatan lokal penggunaan bahasa daerah pada Sekolah Dasar & Sekolah Menengah sebagai jati diri bangsa;
10. Mendesak pemerintah untuk membangun kembali dan merehabilitasi rumah-rumah adat yang terbakar di seluruh wilayah adat se BMR (masa permesta);
11. Mendesak pemerintah untuk memprioritaskan program pemberdayaan Masyarakat Adat di se BMR termasuk pelestarian budaya. (Bas)