Sementara putusan kasus genosida yang diduga dilakukan Israel, diperkirakan akan keluar setelah bertahun-tahun.
Saat ini, Mahkamah Internasional masih memiliki kasus aktif genosida Rohingya oleh Myanmar yang digugat negara Gambia pada 2019 silam.
Walaupun begitu, profesor hukum internasional dari Trinity College Dublin, Michael Becker, menduga perintah sementara itu akan sulit diputuskan.
Pasalnya, Hamas bukan menjadi pihak dalam kasus ini sehingga pengadilan tidak bisa mengeluarkan perintah untuk kedua belah pihak yang berkonflik.
“Hamas bukanlah pihak dalam gugatan ini dan Mahkamah Internasional mungkin akan ragu untuk memerintahkan Israel menangguhkan tindakannya, saat mereka tidak bisa meminta Hamas melakukan hal yang sama,” ujar Becker, seperti dilansir dari Al Jazeera, Rabu (10/1/2024).
Becker menambahkan, Mahkamah Internasional berkemungkinan akan memerintahkan Israel untuk menunjukkan pembatasan lebih besar atas operasi militer mereka di Gaza.
Di sisi lain, jenis hukuman yang bisa diputuskan bagi Israel di Mahkamah Internasional dinilainya sulit untuk diprediksi. Begitu pula dengan pelaksanaan hukuman tersebut.
Israel diwajibkan mematuhi putusan Mahkamah Internasional yang mengikat secara hukum dan tidak bisa mengajukan banding. Namun, Tel Aviv berpeluang besar tidak mematuhinya.
Pasalnya, Mahkamah Internasional akan mengalihkan pelaksanaan putusan kepada Dewan Keamanan PBB jika terhukum tidak patuh.
Di Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat (AS) merupakan sekutu nomor wahid Israel, memegang hak veto yang bisa membatalkan resolusi itu.
Di mana sejak tahun 1945, AS tercatat telah memveto 34 dari 36 draf resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Israel-Palestina. (HK01)